MEMAHAMI PERAN MAHASISWA
Layar telah dibentangkan, musik prolog mulai terdengar, panggung dan property telah siap. Sejumlah nama pemain dilihat dilembaran koran. Kegembiraan entah pada fase yang keberapa nampak diwajah mereka yang tercantum namanya sebagai pemain diatas panggung Perguruan Tinggi Negeri. Berbagai manifestasi ikut mewarnai hari bahagia ini. Dari budaya traktir sampai adegan cium dan peluk menjadi tontonan gratis. Badan sensor budaya timur tidak lagi berfungsi.
Predikat Mahasisiwa telah diraih lewat persaingan yang ketat, maka Nostalgia SMA tinggal kenangan. Ramadhan dan Ramona kini telah menjadi Member Group Agent Of Developmen.
Yang menjadi pertanyaan kita, siapakah generasi pasca SMA melakoni Skenario dunia Kemahasiswaan sampai the end! ATAU HARUS gugur sebelun cerita usai!.
Tulisan ini hanya sekedar memberi gambaran kepada adik mahasiswa-mahasiswa yang baru bahwa peran kita sebagai mahasiswa bukan seperti lakon dalam cerita Gita Cinta Dari SMA. Tanggung jawab moral ada dipundak kita. Pesan orang tua, masyarakat dan konsekwensi sosiologis idiologis-idiologi kemahasiswaan kita harus berjalan seiring untuk memperoleh piala citra sebagai lambang Supremasi.
Mahasiswa Dalam Refleksi Sejarah
Peran mahasiswa Indonesia mulai dari masa perjuangan sampai sekarang ini sangat dibutuhkan paling tidak sumbangsi pikiran demi pembangunan. Dalam refleksi sejarah kita coba melihat secara makro beberapa gerakan mahasiswa. Pertama periode 1908-1923 dengan idiologi merumuskan kesadaran mahasiswa memainkan peran penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional tentang kesadaran bernegara dengan momentum sumpah pemuda. Kedua, periode 1928-1945 dengan idiologi perjuangan, mahasiswa masih berdiri di lini depan dengan tercatatnya dua tokoh nasional yang pikiran-pikirannya mewarnai panggung politik nasional yaitu Soekarno dan Hatta. Mungkin peristiwa sejarah yang paling mendebarkan yaitu detik-detik proklamasi dimana mahasiswa dengan bekal keyakinan, mereka mencuri dua tokoh negara tersebut dan memaksanya untuk segera memproklamirkan Indonesia dan hasilnya 17-8-1945, Indonesia menjadi negara berdaulat. Ketiga, periode 1945-1966, era kemerdekaan yang membutuhkan manusia pembangun yang handal, mahasiswa tetap berdiri di front terdepan menjadi aktor perubahan.
Gerakan Politik praktis mahasiswa turut memainkan peran yang sangat strategis. Ketanggapan mahasiswa dalam meretas kebobrokan orde lama, orde baru sampai pada orde reformasi sekarang ini semakin mengajak mahasiswa untuk tidak tinggal diam. Koreksi dan Kritik konstruktif menggelinding di permukaan. Gerakan mahasiswa pada periode ini mendapat dukungan dari masyarakat dan tidak kalah pentingnya peran pers yang menjadi corong dan aktifitas gerakan mahasiswa. Kondisi Politik dan kebijakan rezim orde lama di bawah kendali Soekarno yang memberi angin segar bagi perjuangan PKI di Indonesia. Memaksa mahasiswa turun kejalan. Lahirlah aksi Tritura yang diprakarsai KAMI, hasilnya PKI patah di Indonesia, pada tanggal 12 Maret 1966. Keempat, Periode 1966--1974, Peralihan Pucuk Pimpinan negara dari tangan Soekarno rezim orde baru mulai menata kehidupan politik nasional, pelita demi pelita dilalui dan hasilnya apa yang kita rasakan, yang pada akhirnya keberadaan mahasiswalah yang mampu menggerakan ataupun mematahkan kekuasaan rezim soeharto lewat gerakan REFORMASI yang dinahkodai oleh kaum intelektual “MAHASISWA”.
Bila kita mencoba menarik benang merah dari kebijakan rezim orde baru maka akan kita temukan semacam klik tersembunyi dari polarisasi politik yang meredam aksi mahasiswa. Berbagai aturan yang mengkooptasi gerakan mahasiswa dengan sengaja disodorkan. Sistem SKS ciptaan Nugroho dan NKK/BKK ciptaan Daud jusuf menjadi rangsang yang amat ampuh. Segala sendi gerakan kemahasiswaan yang lama. Belum lepas dari pasingan itu semboyan Daud Jusuf kembali menggerakan dunia kampus “Back To Campus”. Keadaan semakin parah setelahn mitra perjuangan mahasiswa ABRI mulai berafiliasi dengan pihak birokrat ngara dan paling menyedihkan ketika pers mahasiswa ikut menanggung beban kebijakan dengan istilah breidel. Sejak pasca 74 kampus stagnasi yang membawa konsekwensi wawasan alma mater dan tridharma perguruan tinggi menjadi sloganik, peran dan semboyan mahasiswa menjadi lipstik dan kampuspun berdiri menjadi menara gading.
Mahasiswa Dalam Kondisi Kekinian
Sepertinya ada semacam konsensus bersama kalau sekarang ini kita merupakan komponen angkatan 90-an sebagai manifestasi dari angkatan 80-an. Yang menarik untuk dicermati dalam perode 80-an adalah hadirnya kelompok study sebagai alternative gerakan yang mampu menjadi mobilisator aktifitas. Cri khas dari aksi 80-an adalah garapan issuenya adalah muatan lokal dan mengarah pada pembelaan hak-hak rakyat kecil, peristiwa kedung ombo misalnya.
Yang menguntungkan dalam periode ini adalah kelambatan pihak birokrat membaca preasure power yang dimiliki basik study club. Aksi lkcal yang dimainkan kelompok study akhirnua dapat menginjeksikan kesadaran mahasiswa dari tidurnya yang panjang.
Babakan baru dunia kemahasiswaan dimulai dengan tuturnya surat wasiat yang bernomor 0467/U/90 tentang PUOK. Gerakan aksi mahasiswa kembali mengakomodir issue nasional dan tidak meninggalkan issue lokal. Masih terasa segar tiga gelombang aksi mahasiswa yang bergerak atas issue nasional yaitu proses helm, prote SDSB dan terakhir UU No. 14.
Yang menjadi masalah dan tanda tanya besar adalah lahirnya Kepmen 0457 yang saya sebut surat wasiat tadi. Beberapa baris pertanyaan yang tidak perlu saya tulis disini akan meramaikan dialog kita. Dan untuk meretas jawabannya ternyata memerlukan pisau analitis yang tajam dan perlu hati-hati sebab aqkan melahirkan tafsiran yang kontradiktif, bagi saya sirat wasiat tersebut adalah sebuah Sekenario fragmen polarisasi pengkotak-kotakan yang mengarah pada perpecahan. Kemungkinan besar analisis saya beranjak jauh dari analisis polaritas tersebut tidak nampak secara transparan. Persoalannya apakah kita ingin menolak Kepmen tersebut ? jawabannya, bukan pada saya.
Peran Mahasiswa Sebagai Aktor Perubahan
Kalau kita menilik kembali perjalanan sejarah, maka kita akan melihat peran mahasiswa swbagai actor perubahan, Alih generasi perlu dicermati untuk menjadi komparasi dalam meletakan kondisi real dan memprediksi realita.
Fenomena internal memaksa kita untuk senantiasa melakukan otokritik dan refleksi atas peran dan fugsi kita. Sebaris pertanyaan yang bisa kita kedepankan adalah peran apa yang kita lakoni dalam fragmen pembangunan? mungkin jawaban kita seragam bahwa pengorbanan darah, jiwa dan raga tidak lagi relevan dan bukan zaman yang kita kenal dengan era globalisasi dan informasi. Bisa jadi jawaban yang kita peroleh akan membuat kita menjadi pesimis dalam berbuat dan bergerak sebab realitas dan mimpi kita beranjak jauh, sah-sah saja kita berapologia.
Tatanan stratifikasi sosial yang menempatkan mahasiswa pada papan teratas membawa konsekuensi psikologis apalagi kalau kita mencoba memprediksi kedepan, maka peran sebagai agent social of change menurut pengaplikasian fenomena sosial semakin marak, hal ini disebabkan kurang pekanya mahasiswa meretas realita sosial secara siknifikan. Cacian akan olok-olokan akan kemahasiwaan kita, menjadi berita hot line. Mereka lupa kondisi yang demikian itu sengaja dicptakan sebagai kausal dari pendekatan stabilitas nasional. Akhirnya gaung akademik yang berpandangan kritis serta analitis menjadi aotopis.
Bagikan
Predikat Mahasisiwa telah diraih lewat persaingan yang ketat, maka Nostalgia SMA tinggal kenangan. Ramadhan dan Ramona kini telah menjadi Member Group Agent Of Developmen.
Yang menjadi pertanyaan kita, siapakah generasi pasca SMA melakoni Skenario dunia Kemahasiswaan sampai the end! ATAU HARUS gugur sebelun cerita usai!.
Tulisan ini hanya sekedar memberi gambaran kepada adik mahasiswa-mahasiswa yang baru bahwa peran kita sebagai mahasiswa bukan seperti lakon dalam cerita Gita Cinta Dari SMA. Tanggung jawab moral ada dipundak kita. Pesan orang tua, masyarakat dan konsekwensi sosiologis idiologis-idiologi kemahasiswaan kita harus berjalan seiring untuk memperoleh piala citra sebagai lambang Supremasi.
Mahasiswa Dalam Refleksi Sejarah
Peran mahasiswa Indonesia mulai dari masa perjuangan sampai sekarang ini sangat dibutuhkan paling tidak sumbangsi pikiran demi pembangunan. Dalam refleksi sejarah kita coba melihat secara makro beberapa gerakan mahasiswa. Pertama periode 1908-1923 dengan idiologi merumuskan kesadaran mahasiswa memainkan peran penting dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan nasional tentang kesadaran bernegara dengan momentum sumpah pemuda. Kedua, periode 1928-1945 dengan idiologi perjuangan, mahasiswa masih berdiri di lini depan dengan tercatatnya dua tokoh nasional yang pikiran-pikirannya mewarnai panggung politik nasional yaitu Soekarno dan Hatta. Mungkin peristiwa sejarah yang paling mendebarkan yaitu detik-detik proklamasi dimana mahasiswa dengan bekal keyakinan, mereka mencuri dua tokoh negara tersebut dan memaksanya untuk segera memproklamirkan Indonesia dan hasilnya 17-8-1945, Indonesia menjadi negara berdaulat. Ketiga, periode 1945-1966, era kemerdekaan yang membutuhkan manusia pembangun yang handal, mahasiswa tetap berdiri di front terdepan menjadi aktor perubahan.
Gerakan Politik praktis mahasiswa turut memainkan peran yang sangat strategis. Ketanggapan mahasiswa dalam meretas kebobrokan orde lama, orde baru sampai pada orde reformasi sekarang ini semakin mengajak mahasiswa untuk tidak tinggal diam. Koreksi dan Kritik konstruktif menggelinding di permukaan. Gerakan mahasiswa pada periode ini mendapat dukungan dari masyarakat dan tidak kalah pentingnya peran pers yang menjadi corong dan aktifitas gerakan mahasiswa. Kondisi Politik dan kebijakan rezim orde lama di bawah kendali Soekarno yang memberi angin segar bagi perjuangan PKI di Indonesia. Memaksa mahasiswa turun kejalan. Lahirlah aksi Tritura yang diprakarsai KAMI, hasilnya PKI patah di Indonesia, pada tanggal 12 Maret 1966. Keempat, Periode 1966--1974, Peralihan Pucuk Pimpinan negara dari tangan Soekarno rezim orde baru mulai menata kehidupan politik nasional, pelita demi pelita dilalui dan hasilnya apa yang kita rasakan, yang pada akhirnya keberadaan mahasiswalah yang mampu menggerakan ataupun mematahkan kekuasaan rezim soeharto lewat gerakan REFORMASI yang dinahkodai oleh kaum intelektual “MAHASISWA”.
Bila kita mencoba menarik benang merah dari kebijakan rezim orde baru maka akan kita temukan semacam klik tersembunyi dari polarisasi politik yang meredam aksi mahasiswa. Berbagai aturan yang mengkooptasi gerakan mahasiswa dengan sengaja disodorkan. Sistem SKS ciptaan Nugroho dan NKK/BKK ciptaan Daud jusuf menjadi rangsang yang amat ampuh. Segala sendi gerakan kemahasiswaan yang lama. Belum lepas dari pasingan itu semboyan Daud Jusuf kembali menggerakan dunia kampus “Back To Campus”. Keadaan semakin parah setelahn mitra perjuangan mahasiswa ABRI mulai berafiliasi dengan pihak birokrat ngara dan paling menyedihkan ketika pers mahasiswa ikut menanggung beban kebijakan dengan istilah breidel. Sejak pasca 74 kampus stagnasi yang membawa konsekwensi wawasan alma mater dan tridharma perguruan tinggi menjadi sloganik, peran dan semboyan mahasiswa menjadi lipstik dan kampuspun berdiri menjadi menara gading.
Mahasiswa Dalam Kondisi Kekinian
Sepertinya ada semacam konsensus bersama kalau sekarang ini kita merupakan komponen angkatan 90-an sebagai manifestasi dari angkatan 80-an. Yang menarik untuk dicermati dalam perode 80-an adalah hadirnya kelompok study sebagai alternative gerakan yang mampu menjadi mobilisator aktifitas. Cri khas dari aksi 80-an adalah garapan issuenya adalah muatan lokal dan mengarah pada pembelaan hak-hak rakyat kecil, peristiwa kedung ombo misalnya.
Yang menguntungkan dalam periode ini adalah kelambatan pihak birokrat membaca preasure power yang dimiliki basik study club. Aksi lkcal yang dimainkan kelompok study akhirnua dapat menginjeksikan kesadaran mahasiswa dari tidurnya yang panjang.
Babakan baru dunia kemahasiswaan dimulai dengan tuturnya surat wasiat yang bernomor 0467/U/90 tentang PUOK. Gerakan aksi mahasiswa kembali mengakomodir issue nasional dan tidak meninggalkan issue lokal. Masih terasa segar tiga gelombang aksi mahasiswa yang bergerak atas issue nasional yaitu proses helm, prote SDSB dan terakhir UU No. 14.
Yang menjadi masalah dan tanda tanya besar adalah lahirnya Kepmen 0457 yang saya sebut surat wasiat tadi. Beberapa baris pertanyaan yang tidak perlu saya tulis disini akan meramaikan dialog kita. Dan untuk meretas jawabannya ternyata memerlukan pisau analitis yang tajam dan perlu hati-hati sebab aqkan melahirkan tafsiran yang kontradiktif, bagi saya sirat wasiat tersebut adalah sebuah Sekenario fragmen polarisasi pengkotak-kotakan yang mengarah pada perpecahan. Kemungkinan besar analisis saya beranjak jauh dari analisis polaritas tersebut tidak nampak secara transparan. Persoalannya apakah kita ingin menolak Kepmen tersebut ? jawabannya, bukan pada saya.
Peran Mahasiswa Sebagai Aktor Perubahan
Kalau kita menilik kembali perjalanan sejarah, maka kita akan melihat peran mahasiswa swbagai actor perubahan, Alih generasi perlu dicermati untuk menjadi komparasi dalam meletakan kondisi real dan memprediksi realita.
Fenomena internal memaksa kita untuk senantiasa melakukan otokritik dan refleksi atas peran dan fugsi kita. Sebaris pertanyaan yang bisa kita kedepankan adalah peran apa yang kita lakoni dalam fragmen pembangunan? mungkin jawaban kita seragam bahwa pengorbanan darah, jiwa dan raga tidak lagi relevan dan bukan zaman yang kita kenal dengan era globalisasi dan informasi. Bisa jadi jawaban yang kita peroleh akan membuat kita menjadi pesimis dalam berbuat dan bergerak sebab realitas dan mimpi kita beranjak jauh, sah-sah saja kita berapologia.
Tatanan stratifikasi sosial yang menempatkan mahasiswa pada papan teratas membawa konsekuensi psikologis apalagi kalau kita mencoba memprediksi kedepan, maka peran sebagai agent social of change menurut pengaplikasian fenomena sosial semakin marak, hal ini disebabkan kurang pekanya mahasiswa meretas realita sosial secara siknifikan. Cacian akan olok-olokan akan kemahasiwaan kita, menjadi berita hot line. Mereka lupa kondisi yang demikian itu sengaja dicptakan sebagai kausal dari pendekatan stabilitas nasional. Akhirnya gaung akademik yang berpandangan kritis serta analitis menjadi aotopis.