gravatar

MEMAHAMI BAGAIMANA OTONOMI DAN DEMOKRASI KAMPUS YANG SEBENARNYA

Otonomi kampus adalah kemandirian dan otoritas sebuah perguruan tinggi untuk mengelola dan mengatur rumah tangganya sendiri. Lembaga perguruan tinggi tidak bisa diintervensi pihak manapun dalam menentukan kebijaksanaannya, perguruan tinggi merupakan kawasan akademis dan intelektual yang punya hukum-hukumnya sendiri serta terbatas dari tekanan pihak “luar”.
Selama ini, dalam berbagai kasus, campur tangan kekuasaan dan aparat keamanan di kampus cukup besar. Otonomi kampus sering dicampur tangani oleh mereka yang mengaku pahlawan atau pahlawan yang kesiangan .
Tragisnya campur tangan tersebut karena diminta pejabat kampus (Kasus Mataram dengan Premanisme). Intervensi pihak luar (baca : kekuasaan dan aparat keamanan) yang menodai citra otonomi kampus, sering juga melecehkan kebebasan akademis dan kemandirian intelektual.
Hal ini tercantum dari sensor yang dilakukan oleh pihak luar terhadap acara diskusi, seminar dan forum inteletual lainnya yang digelar di kampus. Puncaknya biasa terjadi “pencekalan” baik terhadap tema maupun pembicaranya.

Demokrasi Kampus
Proses demokrastisasi kampus punya spectrum yang cukup luas, diantaranya untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan, egalitarianisme, kritisme, anti feodalisme, anti otoritarisme, juga memperjuangkan peningkatan kualitas pendidikan, transformasi intelektual dan transformasi masyarakat, disamping itu memperjuangkan kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta memeperjuangkan hak-hak mahasiswa dan seterunya. Disini demokrasi berhubungan dengan nilai-nilai universal dalam level semesta mesti semua itu diperjuangkan dalam level yang kecil (local). Untuk mendukung demokrasi level kampus tersebut maka dibutuhkan kepedulian kaum mahasiswa yang mempunyai naluri untuk berbuat yang terbaik bagi kepentingan semua golongan, atau warga civitas akademika itu sendiri, terutama mahasiswa, demikian pula jenjang yang lebih kebawah, karena itu demokratisasi kampus berhubungan dengan upaya memperjuangkan hak-hak mahasiswa yang terabaikan. Demikian juga upaya memperjuangkan demokrasi kampus adalah cara paling evektif untuk membebaskan mahasiswa dari kekalahan posisinya. Misalnya saja dalam persoalan koersialisasi pendidikan, birokrasi yang menjerat, hilangnya tradisi mimbar dan beberapa peraturan dan kebijaksanaan lainnya yang merugikan mahasiswa.
Dalam persoalan koersialisasi pendidikan, misalnya bisa dilihat dari munculnya mahasiswa selundupan, sogok menyogok, jual beli nilai dan semacamnya.
Perjuangan demokratisasi kampus, juga mencita-citakan peningkatan kualitas pendidikan, disini, perguruan tinggi bisa menjadi barometer intelektual dan pusat pemikiran yang menelorkan pemikir-pemikir besar dan “transformatif”.
Selama ini hampir semua perguruan tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan yang kualitasnya pas-pasan. Kurikulumnya lebih condong pada langgam “intelektualisme” yaitu ilmu berdialog ilmu, konsep berdialog dengan konsep pemikiran berdialog dengan pemikiran. Tidak memunculkan ilmu, konsep dan pemikiran cemerlang yang mampu menjawab problem mendasar masyarakat dan berdialog dengan kritis terhadap tanda-tanda zaman. Pada era globalisasi sangat diperlukan hal ini untuk minimal bisa bertahan dalam persaingan dengan yang telah lebih maju.

Mencetak Beo
Kalau melihat fenomena diatas, maka terlihat konservatisme dan status quo oriented, masih mendominasi dunia keilmuan dan kurikulum diberbagai perguruan tinggi Akhirnya perguruan tinggi lebih berorientasi mencetak “beo”, “tukang” dan “sekerup”pembangunan. Jikapun mencetak manusia yang pandai, tentu adalah pandai dan pintar dalam soal mengeksploitasi dan memanfaatkan manusia lain atau minimal ilmu yang diam, yang membiarkan ketidakadilan dan penindasan didepan mata. mereka, produk-produk perguruan tinggi semacam itu, adalah para pujangga kekuasaan dan kemampuannya hanya melegitimasi status quo. Alih-alih menjadi pujangga rakyat, yang menegaskan keberpihakannya yang progresif untuk melakukan perubahan sosial menuju rakyat yang adil, demokratis dan egaliter; mereka lebih suka mendekati kekuasaan untuk mendapatkan kedudukan.
Selain itu, demokrasi kampus berupaya melawan struktur penyelewengan dan membongkar represitas dalam kampus. konsep demokrasi kampus juga mensyaratkan kebebasan yang memadai yang meliputi kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan akademis, kebebasan intelektual, kebebasan berorganisasi dst.
tentu saja kondisi seperti ini, menuntut otonomi keamanan dan otonomi akademik dari dalam kampus sendiri, tanpa campur tangan pihak luar.
Demokratisasi kampus juga mencita-citakan perguruan tinggi yang semata-mata tidak menjadi “menara gading” yang “steril” dari persoalan-persoalan sosial. tapi juga berusaha membentuk perguruan tinggi yang concern dan punya komitmen penuh terhadap persoalan kemasyarakatan, yang meliputi dimensi sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
Disini meminjam istilah Y.B. Mangunwijaya “kampus tidak boleh lepas dari kampung”.
Dengan demikian, demokratisasi kampus melawan segala upaya pihak luar, untuk merekayasa kampus menjadi kawasan intelektualisme murni dan ekslusif. Atau menurut istilah penguasa mahasiswa haruslah menjadi penganalisis murni. rekayasa ini sangat tampak, terutama lewat konsep NKK-BKK dan depolitisasi kampus.
Demokratisasi kampus menuntut adanya “mahzab kritis” dan “ideology perlawanan” guna menumbangkan kekuatan “status quo” yang konservatif dan menindas.
Upaya memperjuangkan demokratisasi kampus tentu tidak berhenti sebatas dalam kampus saja, tetapi juga akan dikaitkan dengan persoalan demokratisasi dalam skala yang lebih luas, yaitu demokratisasi bangsa yang meliputi demokratisasi politik, demokratisasi ekonomi dan demokratisasi sosial.
Munculnya persoalan-persoalan krusial di Jakarta yang kemudian diikuti oleh aksi puluhan ribu massa yang tentu saja persoalan ini bukan lagi persoalan intern PDI merupakan indikasi dari aspirasi massa tidak tersalurkan, sehingga melakukan aksi yang bersifat pelampiasan terhadap ketidakpuasan tersebut. Ini menunjukkan bahwa masalah demokratisasi di negara kita belum sepenuhnya dilaksanakan. Persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana menaikkan bargaining lembaga “Civil Society” (masyarakat rakyat) terhadap lembaga state (negara, kekuasaan, pemerintah).
Kalau kita renungkan, jangan-jangan persoalan dari dalam kampus diberbagai perguruan tinggi, merupakan “PR” yang sengaja dikondisikan dan diciptakan untuk mahasiswa, ini berkaitan dengan upaya-upaya pihak tertentu untuk mengalihkan perhatian mahasiswa dari persoalan-persoalan sosial yang lebih besar dan luas.serta jangan-jangan ini merupakan upaya untuk mematikan demokratisasi rakyat setelah upaya itu berhasil dikampus.

Artikel Terkait by Categories



Widget by Uda3's Blog
Bagikan