gravatar

Akulturasi Ajaran Agama dan Tradisi Budaya

Islam, dengan segenap universalitas syariat yang dibawanya adalah agama yang sempurna dan paripurna sebagai pedoman segala dimensi kehidupan manusia. Allah swt. berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu". (QS. Al-Maidah : 3)

Kesempurnaan dan keparipurnaan Islam sebagai pedoman kehidupan bersifat integral-universal yang melampaui batas-batas geografis dan zaman. Nilai-nilai ajaran Islam bersifat absolut, abadi dan berlaku untuk semesta sepanjang masa, berlaku untuk seluruh budaya dan peradaban serta berlaku untuk segala suku bangsa manapun. Allah swt. berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (QS. Al-Anbiya' : 107)

Tidak ada satu pun dimensi kehidupan manusia yang luput dan tak tersentuh oleh hukum Islam, termasuk adat-istiadat maupun tradisi budaya dan peradaban. Islam memiliki aturan formal yang baku dan tegas mengenai legalitas ritual-ritual yang dipengaruhi tradisi atau budaya lokal seperti yang telah diuraikan di sub sebelumnya.
Kendati demikian, kehadiran Islam sebagai agama sebenarnya bukanlah untuk menolak segala adat atau budaya yang telah berlaku di tengah masyarakat. Tradisi dan budaya yang telah mapan dan memperoleh kesepakatan kolektif sebagai perilaku normatif, maka Islam tidak akan merubah atau menolaknya melainkan mengadopsinya sebagai bagian dari budaya Islam itu sendiri dengan membenahi dan menyempurnakannya berdasarkan nilai-nilai budi pakerti luhur yang sesuai dengan ajaran-ajaran syariat. Rasulullah saw. bersabda:

إنمَا بُعٍثتُ لِأُتَـمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
"Aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan keluhuran budi pakerti."

Sekedar untuk menyebut contoh bahwa kehadiran Islam bukan untuk menolak segala tradisi yang telah berlaku adalah disyariatkannya ritual Sa'i di bukit Shafa dan Marwa, di mana pada pra-Islam ritual Sa'i sudah menjadi adat orang-orang Jahiliah. Hal ini seperti tergambar jelas dalam asbâbun nuzûl surat Al-Baqarah : 158

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا
"Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya". (QS. Al-Baqarah : 158)

Dalam ranah hukum Islam, kita juga bisa jumpai beberapa contoh lain yang diadopsi dari adat budaya Jahiliyah dan dilestarikan ke dalam Islam seperti diyâh, qasâmah, qirâdl, memasang qiswah (selambu) Ka'bah dan lain sebagainya dari perilaku-perilaku normatif sosial yang bisa diterima kebenarannya oleh aqlus salim. Sepanjang adat tradisi dan budaya lokal secara subtansial tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam akan menerimanya menjadi bagian dari tradisi dan budaya Islam itu sendiri. Rasulullah saw. bersabda:

مَا رَآهُ المُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِندَ اللهِ حَسَنٌ
"Apa yang dilihat baik oleh orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah".

Apabila ditilik dari latar belakang historisnya, sebenarnya tidak diragukan bahwa ritual-ritual masyarakat Jawa seperti diuraikan di atas bukan berasal dari ajaran Islam melainkan dari peninggalan adat tradisi budaya lokal yang diwarisi dari masyarakat Hindu-Buda sebelum kehadiran Islam di Jawa, yang kemudian dilestarikan dalam amaliah keagamaan masyarakat Islam Jawa setelah ada usaha akulturasi antara ajaran agama dengan budaya lokal yang dipelopori oleh Sunan Kali Jaga sebagai strategi dakwahnya. Yaitu mengadopsi budaya-budaya lokal kemudian memasukkan ruh-ruh keislaman ke dalamnya. Seperti tetap melestarikan adat tingkepan, selapanan, telon-telon, piton-piton, telung dinonan, pitung dinonan, dll. namun mengisinya dengan amaliah-amaliah Islam seperti membaca Al-Qur'an, shalawat, tahlil, mengirim doa untuk leluhur, sedekah dan ibadah-ibadah lain yang dianjurkan dalam Islam.
Strategi dakwah dengan akulturasi ajaran agama dan budaya ini terbukti lebih efektif dalam keberhasilan penyebaran Islam di Jawa dibanding penerapan ajaran agama yang terlalu dipaksakan yang tak jarang justru mengundang penolakan dan menimbulkan problem-problem sosial yang mengganggu stabilitas politik, keamanan, sosial dan ekonomi secara umum dan justru bisa menghilangkan akar budaya masyarakat Jawa yang dikenal ramah, toleran dan permisif.
Dalam firman-Nya, Allah swt. telah mengajarkan bagaimana etika dalam mengajak umat menuju jalan Allah, yaitu dengan cara-cara yang lemah lembut, tidak arogan dan dengan bahasa serta sikap yang penuh hikmah. Allah swt. berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka". (QS. Ali Imran : 159)

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS. Al-Anbiya' : 107)

Lebih dari itu, adalah fakta bahwa penerimaan terhadap Islam di Jawa tidak terlepas dari strategi dakwah yang secara elegan mau menerima bahkan mengadopsi nilai-nilai budaya lokal yang secara substansial tidak bertentangan dengan Islam. Dalam konteks seperti ini, akulturasi bisa dipahami sebagai penengah antara ketaatan beragama yang bersifat dogmatis dengan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisi budaya lokal yang bersifat fleksibel dan berakar pada kolektifitas.
(tulisan ini hasil postingan dari beberapa sumber dan pendapat orang)

Artikel Terkait by Categories



Widget by Uda3's Blog
Bagikan