gravatar

Mengenal Lebih dekat Suku Kaili

Suku Kaili merupakan suku bangsa yang tinggal di wilayah Sulawesi Tengah. Khususnya di Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu. Selain itu, daerah Parigi-Moutong dan Kabupaten Poso pun tak luput menjadi daerah penyebarannya suku tersebut.

Ada sejumlah versi mengenai asal-usul nama “Kaili” ini. Secara kebahasaan, kata kaili berasal dari nama pohon. Kaili tumbuh subur di daerah tepi sungai Palu dan Teluk Palu. Berdasarkan cerita daerah setempat, di dekat Kampung Bangga tumbuhlah menjulang pohon kaili yang sering dijadikan sebagai panduan bagi para pelaut dalam menentukan arah menunju pelabuhan Banggai.

Bahasa Suku
Lazimnya sebuah suku memiliki bahasa daerah. Demikian pula dengan suku Kaili yang memiliki bahasa sendiri yang digunakan dalam percakapan sehari-harinya. Mereka menyebutnya dengan bahasa “Ledo” yang artinya “tidak”.
Walau sesungguhnya dintara suku-suku Kaili juga banyak terdapat bahasa lainnya yang digunakan antarkampung. Namun Ledo menjdi “bahasa persatuan” masyarakat Kaili. Bagi Anda yang berkunjung menemui suku ini masih bisa menemukan bahasa asli Ledo (yang masih belum terkontaminasi dengan bahasa asing) di sekitar Tompu dan Raranggonau.

Sementara di daerah-daerah seperti Biromaru atau Palu bahasa Ledo yang menjadi bahasa pemersatu suku Kaili sudah tak asli lagi karena sudah banyak dipengaruhi dan terkontaminasi oleh bahasa Bugis atau bahasa Melayu.

Aspek Kebudayaan
Peninggalan kebudayaan yang merupakan warisan turun-temurun dari para leluhur suku Kaili masih dilestarikan hingga kini. Terutama di saat-saat perayaan hari besar seperti: pernikahan, dan sebagainya. Hukum adat dan budaya begitu dijunjung tinggi dan dipertahankan dari pengaruh budaya luar.

Beberapa diantara penyelenggaraan upacara kebudayaan biasanya dilakukan di saat pesta perkawinan (No Rano, No Raego), upacara panen raya (No Vunja), upacara orang meninggal (No Vaino), atau upacara penyembuhan penyakit. Pengaruh nilai-nilai adat budaya Kaili dalam setiap perayaan tersebut masih kental unsur animisme.

Adapun instrumen musik yang menjadi kebanggaan suku Kaili ini antara lain  Lalove, Nggeso-nggeso, Kakula, dsb. Salah satu kebiasaan wanita suku Kaili yakni menenun sarung.
Sarung-sarung hasil tenunan tersebut dalam bahasa Kaili lebih dikenal dengan sebutan Buya Sabe. Masyarakat umum mengenalnya sebagai sarung Donggala. Buya Sabe inipun mempunyai beberapa nama lagi, seperti Subi, Kumbaja, dan Bomba.

Aspek Kepercayaan
Sebagaimana suku tua yang banyak menganut aliran kepercayaan terhadap benda-benda seperti batu dan pohon besar, tak beda jauh dengan suku Kaili yang dulunya banyak masyarakatnya menganut animisme. Diantara dewa-dewa yang banyak dipercaya sebagai tuhan mereka adalah: Tomanuru (sang pencipta), Buriro (yang menyuburkan tanah), Tampilangi (dewa yang bertugas menyembuhkan penyakit), dsb.
Namun setelah agama Islam masuk, aliran-aliran tersebut secara perlahan banyak ditingalkan oleh warga setempat. Abdul Raqi, seorang ulama Islam keturunan Raja dari Minangkabau yang beperan sangat besar dalam menyebarkian Islam di suku Kaili.

Sementara yang patut kita tiru dari kebiasaan suku Kaili yakni hubungan kekerabatannya yang sangat kuat, terutama sekali terlihat ketika dalam upacara-upacara besar seperti keagamaan, kematian, dan pernikahan.

Artikel Terkait by Categories



Widget by Uda3's Blog
Bagikan