gravatar

HERMENEUTIKA AL-QURAN DIMATA SAYA

Alquran, bagi saya bukan obat siap telan. Bukan solusi siap pakai. Tapi baru gudang kekayaan yang harus dibuka pintunya. Baru sumber inspirasi yang harus digali maknanya. Meminjam ungkapan Imam Ali, Alquran itu haya diam. Tapi manusialah yang membuatnya bicara.

Dengan kata lain, ayat demi ayat, deretan huruf deni huruf dalam alquran baru benda mati. Baru lafaz yang pucat. Tapi dengan dipahami maknanya, maka barulah Alquran itu hidup.

Meminjam kata Aisyah, akhlak Muhammad adalah Alquran.
Saya menafsirkannya bahwa dengan membaca Alquran, dengan mengkotbahkan Alqruan, belum berarti seseorang serta merta bisa dikatakan bermoral atau berakhlak Islam. Itu baru kulitnya. Baru bungkusnya. Tapi dengan menjadikan PESAN (MAKNA) Alquran itu MENUBUH dalam diri seseorang, maka barulah dikatakan dia berahklak mulia. Maka barulah Alquran itu hidup dalam pribadi seseorang.

Dengan kata lain, Alquran itu mati. Tapi maknanya akan selalu hidup bila Alquran itu ditelanjangi terus menerus sepanjang zaman, sesuai situasi dan kondisi dimana ia hendak diwujudkan.

Ibaratnya, Alquran itu adalah gelas. Sedang maknanya adalah air. Bukankah air selalu mengikuti bentuk wadahnya? Jika dituang kedalam gelas maka bentuk air akan terlihat seperti gelas. Jika dituang ke bejana maka bentuk air akan terlihat seperti bejana.

Gelas, bejana, adalah wadah. Bungkus, baju. Itulah Kitab (buku) Alquran.
Sedangkan air, isinya, adalah MAKNA Alquran.

Hanya dengan menelanjangi Alquranlah maknanya akan bisa dihayati.
Bukan dengan membaca dan melagukannya.
Apalagi jika hanya dengan membangga-banggakannya.

Artikel Terkait by Categories



Widget by Uda3's Blog
Bagikan