KONSERVASI
Ketika pohon terakhir telah ditebang,
Ketika sungai yang terakhir telah mengering,
Barulah kita sadar, bahwa uang tidak bisa dimakan.......
Sejak tahun 1970-an negara-negara di dunia termasuk negara industri telah dihadapkan pada masalah lingkungan seperti kerusakan alam, pencemaran, banjir, polusi, dll. Sedemikian gawatnya permasalahan lingkungan ini, sehingga PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup pada tanggal 5-6 Juni 1972 di Stockholm, Swedia, yang akhirnya ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia.
Hasil konferensi itu memberikan pengaruh kepada banyak negara untuk memperhatikan dan menangani permasalahan lingkungan terutama yang berkaitan dengan dampak pembangunan. Hal ini melahirkan suatu konsep baru pembangunan yaitu “Pembangunan yang Berkelanjutan” (Suistainable Development) yang menitikberatkan pada pembangunan yang berwawasan lingkungan, dengan konsep baru ini diharapkan adanya perlakuan bijaksana terhadap sumber daya alam dan kesinambungan-nya berdasarkan keterbatasan-keterbatasan alam itu sendiri. Karena apabila tidak berjalan maka masa depan manusia akan terancam.
Timbulnya permasalahan lingkungan pada dasarnya terjadi karena:
1. Dinamika penduduk
2. Pemanfaatan dan pengolahan SDA yang kurang bijaksana
3. Kurang terkendalinya pemanfaatan IPTEK maju
4. Dampak negatif yang sering muncul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif
5. Benturan tata ruang.
Dengan tidak adanya keseimbangan antara Antroposentris dengan Ekosentris mengakibatkan munculnya Konservasi.
Mengapa harus ada Konservasi…….?
Konservasi, adalah sebuah kata yang sering kali menjadi label kita sebagai pecinta alam, yang tentu sarat dengan kebanggaan tersendiri. Apalagi kita sebagai organisasi kemahasiswaan tentu memahami istilah konservasi tidak tanpa makna, artinya sesuai dengan kedudukan kita, sudah menjadi suatu keharusan untuk memahami kaidah-kaidah ilmiah sebagai penjelasan. Fenomena ini yang menjadi ironi tersendiri ketika begitu banyak individu yang bangga dengan menyandang label pecinta alam tetapi kurang mengetahui atau kurang tertarik untuk menggagas hakekat dasar dari permasalahan lingkunan hidup.
Konservasi yang secara umum mempunyai arti pelestarian; melestarikan daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan lingkungan secara seimbang. Konservasi berawal dari kata conserve lahir akibat adanya semacam kebutuhan untuk melestarikan sumber daya alam yang diketahui mengalami degradasi mutu secara tajam. Sehingga menimbulkan kekhawatiran kalau tidak diantisipasi akan membahayakan umat manusia, terutama berimbas pada generasi mendatang sebagai anak cucu kita. Degradasi mutu lingkungan tadi tentunya mempunyai kausalitas atau hal-hal yang menyebabkannya. Selama ini ada dua hal yang dikenal sebagai penyebab menurunnya dan bahkan musnahnya sumber daya alam.
Pertama, adalah faktor alamiah. Maksudnya hal-hal yang berkaitan dengan hancurnya suatu bangunan sistem lingkungan hidup disebabkan faktor alam secara murni, dengan kata lain tidak sedikit pun andil manusia di dalamnya, sebagai contoh adanya gampa bumi yang menghancurkan suatu kawasan tertentu. Kemudian yang lebih kongkrit lagi adalah musnahnya peradaban zaman jura, suatu masa dimana dinosaurus hidup. Peradaban ini punah oleh faktor alam yaitu hujan meteor dan mencairnya es kutub.
Kedua, adalah karena faktor manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dan ini terjadi pada masa sekarang, masa manusia modern. Berawal dari revolusi industri di Inggris sekitar abad ke-17, waktu itu terjadi kekecewaan terhadap pola produksi ekonomi tradisional yang dianggap tidak efesien dan tidak manusiawi dan masih adanya perbudakan. Kondisi tersebut melahirkan sebuah ideologi ekonomi baru yang dikenal sebagai kapitalisme yang dijadikan alternatif dari pola tradisional. Ideologi ini mempunyai cita-cita mewujudkan kesejahteraan seluruh umat manusia pada tahapan wellfare capitalism. Dengan cara mengadakan pola produksi masal (mass production) dari seluruh pelaku ekonomi yang kemudian menciptakan pola konsumsi massal (mass consumtion). Idealnya ketika terjadi produksi massal; sesuai hukum ekonomi maka harga turun. Selanjutnya tujuan wellfare capitalism tadi yaitu ketika konsumsi bisa berlangsung massal dengan harga rendah serta proses bersaing. Adalah suatu hal yang belum pernah terbukti.
Seiring dengan meledaknya populasi penduduk bumi, pola produksi massal dengan konsep pemupukan modal secara terus menerus (acumulation of capital) membutuhkan bahan baku yang terdiri dari tiga hal utama; sumber dana, sumber daya manusia dan sumber daya alam. Karena produksi membutuhkan eksploitasi dan juga penguasaan pasar yang terjadi selanjutnya permasalahan termasuk adanya proses kolonialisme. Berkaitan dengan hal itu sumber daya alam sebagai salah satu bahan utama piranti ternyata mempunyai keterbatasan volume dan jumlah. Ini berlawanan dengan logika produksi yang mengenal kebutuhan tanpa batas sedangkan bahan baku sangat terbatas.berangkat dari sinilah yang akhirnya melahirkan berbagai permasalahan hidup akibat faktor manusia karena memang sangat terasa sekali keberadaan manusia begitu menentukan degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebih tanpa batas. Sebagai contoh ketika kayu di hutan dianggap sebagai salah satu faktor produksi dan dengan cara apapun manusia berusaha untuk mengambil dan memanfaatkannya. Padahal secara ekologis hutan sangat dibutuhkan sebagai resevoir atau daerah serapan air dan sebagai pengatur iklim makro. Hal ini mungkin oleh pelaku ekonomi diabaikan. Begitupula dengan pola produksi dalam satu industri yang sering menimbulkan polusi. Kesemuanya itu adalah akibat ulah manusia kapitalis yang akhirnya semua umat manusia ikut menanggung akibatnya; seperti pemanasan global yang mengubah pola iklim dunia secara ekstrim, sehingga para petani menjadi bingung karena tidak mempunyai musim tanam yang teratur akibat pola hujan serta musim kemarau yang tidak menentu.
Karena adanya kesadaran biaya akan eksternalisasi yang harus kita bayar mahal dalam bentuk akibat serta permasalahan lingkungan , maka muncullah semacam kebutuhan untuk melestarikan jaringan sistem yang sudah tersedia di alam yang seimbang termasuk di dalamnya rantai ekologis dan sumber daya alam. Inilah yang disebut paham konservasi, yang menjadi paham label kebanggaan serta komitmen kita sebagai organisasi pecinta alam.
Namun di dalam perkembangannya paham ini mempunyai tiga cara pandang yang berbeda yang melihat perlunya pelestarian terhadap sumber daya lingkungan hidup yang akhirnya memunculkan tiga ideologi lingkungan yang berbeda.
Pertama, ecofasism, paham ini muncul karena permasalahan lingkungan teramat parah maka lingkungan tersebut harus diselamatkan dan dilestarikan demi keberadaan lingkungan itu sendiri, artinya paham ini juga melihat bahwa untuk menyelamatkan serta melindungi lingkungan hidup apapun boleh kita korbankan termasuk keberadaan manusia yang dianggap berpotensi merusak lingkungan namun pada perkembangannya paham ini seringkali dijadikan alasan untuk kepentingan ekonomi dan politik semata.
Kedua, ecodevelopmentalism, paham gerakan ini melihat bahwa perkembangan ekonomi hanya bisa berlangsung asal masih tersedia sumber daya alamnya, jadi keberadaan lingkungan yang berpotensi bagi sumber daya ekonomi harus dilindungi. Masih dalam sudut pandang dengan paham kapitalis yaitu adanya kesadaran bahwa kapitalisme juga akan hancur tanpa adanya sumber daya alam maka kapitalisme itu sendiripun mempunyai kepentingan untuk mengkonservasi sumber daya alam.
Ketiga, ecopopulism, artinya memandang lingkungan signifikan dengan keberadaan manusia di sekelilingnya, jadi semua hal yang berkaitan dengan permasalahan pelestarian lingkungan harus ditujukan untuk kesejahteraan manusia, sebagai kata lain, lingkungan adalah untuk manusia, namun bukan dalam hal kerangka eksploitasi; sebagai contoh keberadaan suatu taman nasional tidak harus menggusur komunitas masyarakat adat yang sudah mendiami lokasi tersebut.
Etika Lingkungan
Etika mempersoalkan cara bagaimana norma-norma dan nilai-nilai serta pernyataan-pernyataan yang besangkutan dengannya dapat dipertanggungjawabkan dihadapan akal budi. Maka etika memang bisa memperdalam kesadaran atau bahwa nilai-nilai itu sebenarnya adalah palsu dan bahwa perlu dicari nilai-nilai dan norma- norma baru.
Dari pemaknaan di atas apa yang dilakukan manusia, indera-indera kita hanya mampu menangkap apa yang kelihatan dan dirasakan saja, sedangkan prinsip-prinsip yang mendasari tindakan seseorang seperti “kewajiban” atau “hukum moral“ tetap tersembunyi dari pengamatan. Oleh karena itu apabila ada prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar bagi tindakan manusia, maka pengetahuan mengenai prinsip-prinsip itu tentunya bersifat apriori, yakni pengetahuan yang tidak mendasarkan dirinya atas pengalaman empiris. Kata Immanuel Kant (Prussia Timur 1724-1804), “filsafat moral atau etika yang murni adalah etika yang justru bersifat apriori itu.” Etika macam ini menyibukkan diri hanya dengan berbagai macam perumusan dan pembenaran atas berbagai prinsip moral – “wajib”, “kewajiban” ,”baik atau buruk”, ”benar“ dan ”salah”. Etika apriori macam ini disebutkan sebagai metafisika kesusilaan. Akan tetapi, seperti telah dikatakan Kant sebelumnya, etika selain bersifat apriori juga bersifat empiris atau aposteori. Etika macam ini disebutkan sebagai antropologi praktis (ilmu psikologi dan ilmu hukum).
Kant membuat distingsi antar legalitas (hukum) dan moralitas. Legalitas dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini pada dirinya sendiri belum bernilai moral, sebab dorongan batin sama sekali tidak diperhatikan. Nilai moral baru diperoleh di dalam moralitas, yang dimaksudkan dengan moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai bila kita mentaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan kita atau lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.
Setelah penjelasan-penjelasan di atas implikasi etika adalah ilmu yang membahas moralitas atau tentang manusia sejauh dengan moralitas. Suatu cara lain untuk merumuskan hal yang sama adalah bahwa etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Ada tiga pendekatan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral, yaitu :
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberi penilaian-penilaian.
2. Etika Normatif
Etika normatif merupakan perskriptif (memerintah) menentukan benar tidak tingkah laku atau anggapan moral, untuk itu ia mengadakan argumentasi-argumentasi. Jadi ia mengemukakan alasan-alasan mengapa suatu tingkah laku harus disebut baik atau buruk dan mengapa suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah. Pada akhirnya argumen-argumen itu akan bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis yang dianggap tidak dapat ditawar. Sehingga etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat digunakan dalam praktek. Etika normatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Etika Umum
Memandang tema-tema umum seperti: apa itu norma etis? Jika ada banyak norma etis bagaimana hubungannya satu sama lain? Mengapa norma moral mengikuti kita? Tema-tema seperti itulah yang menjadi objek etika umum.
b. Etika Khusus
Berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu istilah yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan juga bahwa etika khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis faktual sampai pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.
3. Metaetika
Awalan meta dari bahasa yunani yag berarti “melebihi”, ”melampaui”. Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas di sini bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas.
Etika lingkungan termasuk bagian dari etika teoritis (etika filsafat) dimana bila diklasifikasikan berada pada pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral, secara konseptual terdapat dalam pendekatan etika normatif. Dari turunan pendekatan etika normatif yaitu: etika umum dan etika khusus, etika lingkungan berada pada etika khusus (etika terapan).
Jadi etika lingkungan merupakan substansi dari etika teoritis, sebagai penyusun dari etika teoritis, etika lingkungan memberikan masukan berharga (nilai-nilai) yang dapat dimanfaatkan oleh refleksi etika teoritis. Namun juga secara relasi kausalitas tak dapat diabaikan pengaruh etika lingkungan dan etika teoritis dimana pengaruh timbal balik mempunyai hubungan yang signifikan. Etika lingkungan sangat membutuhkan bantuan dari teori etika, ia mempergunakan prinsip-prinsip dan teori moral yang diharapkan sudah mempunyai dasar yang kukuh. Dari hasil etika lingkungan bisa sebagai acuan analisis etika teoritis untuk refleksi. Sehingga kualitas etika lingkungan turut ditentukan oleh kualitas teori yang dipergunakannya.
Ruang lingkup etika lingkungan dalam menyelidiki tingkah laku moral yaitu:
a. Etika lingkungan menyoroti suatu kelompok atau profesi pada suatu masalah.
Contohnya: profesi kepecintaalaman, membahas permasalahan-permasalahan pencemaran lingkungan.
b. Membedakan antara mikro etika dan makro etika.
Makro etika membahas masalah-masalah moral dalam skala besar, artinya masalah-masalah ini menyangkut suatu bangsa seluruhnya, atau seluruh umat manusia.
Contoh : masalah lapisan ozon yang berlubang.
Mikro etika membicarakan pertanyaan-pertanyaan etis dimana individu terlibat.
Contoh : kewajiban pecintaalaman terhadap lingkungan.
Disini keabsahan norma-norma moral dari etika lingkungan akan diperoleh atas pendasaran norma-norma moral struktural (kepecintaalaman) dan kultur (budaya), menentukan betul salahnya tindakan manusia adalah berdasarkan bila secara struktural yaitu manusia akan bertindak secara moral apabila mengambil orientasi dari norma-norma kehidupan lembaga (tatanan norma sosial) kepecintaalaman dimana mempunyai nilai-nilai keberpihakan terhadap alam. Sedangkan secara kultural tindakan manusia harus dapat menerima secara sadar (rasional) norma-norma moral yang dipasang oleh masyarakat tertentu dimana mempunyai nilai-nilai keberpihakan terhadap alam.
BCC sebagai Organisasi kepecintaalaman yang berprofesi sebagai pecinta alam mempunyai tatanan moral sosial. Tatanan moral sosial itu direpresentasikan dalam kode etik. Kode etik adalah kumpulan asas atau ”sistem nilai” untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam suatu masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan dipegang teguh oleh seluruh kelompok. Sehingga perilaku atau tindakan individu atau kelompok harus sesuai dengan norma-norma yang sudah ada (kode etik).
Norma-norma dalam masyarakat tradisional tidak serta merta diabaikan dikarenakan norma-norma itu kurang rasional untuk diterima dalam masa modernisasi. Nilai-nilai keberpihakan terhadap alam yang dimiliki oleh masyarakat tradisional secara kualitas moral mempunyai sikap terhadap alam. Contoh : manusia Asmat. Manusia Asmat sering diidentikkan dengan hutan atau pohon dikarenakan orang Asmat menganggap pohon sangat berarti bagi kehidupan mereka. Mereka melambangkan batang pohon sebagai tubuh manusia, dahan-dahannya sebagai tangannya, buahnya sebagai kepala manusia. Diatas menunjukkan bahwa pohon tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Asmat. Sistem masyarakat Asmat yang menghormati pohon, yang mereka sebut Cean, telah berlangsung turun-menurun. Cean menganjurkan bahwa dalam memanfaatkan sumber daya alam perlu ada interval waktu sementara bagi pengambilan sumber daya tertentu disuatu tempat. Sistem Cean ternyata tidak hanya menyangkut konservasi hutan tapi berlaku juga untuk sungai tempat mereka mencari udang dan ikan, tempat berburu, dusun kaum perahu, dusun sagu, dan tempat membuat bivak. Dari contoh diatas berkualitas moral nilai-nilai itu bila kita bandingkan dengan masyarakat modern yang menganut hedonisme. Jadi norma masyarakat tradisional dapat menjadi acuan bagi suatu kelompok atau masyarakat untuk bertindak dan berperilaku keberpihakan terhadap alam.
Bagaimana kita dapat melakukan norma-norma yang sudah ada (etika lingkungan) sebagai kewajiban kita sebagai pecinta alam? Kewajiban moral harus bersifat mutlak. Mutlak berarti kewajiban moral tidak berlaku asalkan menguntungkan, asal memuaskan perasaan, asal cocok dengan pendapat orang lain. Ini berarti tekad untuk selalu mau melakukan apa yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan untung-rugi, senang tidak senang, ketaatan semata-mata pada otoritas diluar kehendak. Yang dimaksud disini keputusan dasar dimana ketekadan untuk selalu bersikap baik, adil dan wajar. Tuntutan hukum moral untuk bersikap tanpa syarat apapun.
Jusman, S.Pd
Penulis adalah Dewan Pembina
Biology Conservation Club (BCC) Madrasah Aliyah Negeri 1 PALU