ETIKA LINGKUNGAN
Bismillah. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu di bumi secara seimbang dan mencukupi. Ketika nabi Adam pertama kali diturunkan ke bumi, ia terpisah dengan istrinya. Nabi Adam, menurut riwayat terdampar di India, istrinya Hawa di Jeddah. Mereka dipertemukan di jabal Rahmah Mekkah. Pada masa itu tentu lingkungan tidak ada masalah. Semua ada dalam keadaan seimbang.
Lingkungan mulai mengalami kerusakan yang hebat terjadi jauh sesudah nabi Adam tidak ada lagi di permukaan bumi. Manusia yang bertambah banyak jumlah dan keahliannya menjadikan bumi ajang untuk berbuat kerusakan. Kerusakan itu tentu tidak saja di darat tetapi di laut. Tidak saja di dataran rendah, kerusakan terjadi di bukit dan gunung. Kerusakan bahkan terjadi hingga ke dasar laut. Pendek kata kerusakan terjadi di utara, selatan, timur, barat dan bahkan di kutub-kutub bumi. Kerusakan yang paling besar sebetulnya adalah akhlak atau etika manusia. Manusia mulai menyembah selain Allah. Lebih dari itu manusia menjadi rakus.
Banyak nabi dan rasul diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Tidak kurang dari 200.000 nabi dan rasul diturunkan dan diutus ke seluruh bangsa dan kaum di seluruh dunia. Banyak ajaran nabi dan rasul itu selain masalah akidah (tauhid) tetapi tidak kalah pentingnya adalah masalah akhlak/etika termasuk terhadap lingkungan. Di antara ajaran nabi Muhammad tentang etika lingkungan adalah bahwa semua makhluk hidup dan tidak hidup setiap saat tasbih kepada Allah. Jadi menganggu atau merusaknya sesungguhnya menganggu hubungan ”mereka” kepada Allah. Al-qur’an melarang keras berbuat kerusakan di bumi. Nabi melarang kencing di lubang semut dan air tergenang. Tulisan ini memaparkan serba-serbi yang berhubungan dengan etika lingkungan dan filsafat.
Apa itu Etika Lingkungan ?
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?
Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.
Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Etika Ekologi Dangkal
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam,
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
Etika Ekologi Dalam
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.
Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat
Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.
Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak mungkin.
Tantangan Perspektif ekologis
Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.
Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertama-tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “ keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “ nomos “ tetapi pada dimensi estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah – menurut Plato – yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.
Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
Kosep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani, karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang “ kekonstanan “ alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat keadaan alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia dalam keseluruhan proses ini.
Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology, Aristoteles juga sudah memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai Nil di Mesir.
Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
Tantangan Filsafat Modern
Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘ apakah alam itu ada ( metafisik ) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini, pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari saat ke saat untuk memecahkan masalah dunia.
Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena paham alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia, membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang menyatakan bahwa sensasi dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove, idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak besar. Pada awal modernitas, science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan prinsip-prinsip geometris dan bersifat reduksionis. [5] Hume yang membagi obyek penelitian dalam “ primary dan secondory property ” mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary dan bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan ini tampak tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di dalamnya tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
Sumbangan filsafat pada Etika Lingkungan
Kaum environmentalist mengakui bahwa bahwa filsafat sejak Yunani sampai Modern memang tidak banyak memberi dasar pada Etika Lingkungan, bahkan cenderung berseberangan dalam pandangan terhadap alam. Dari skeptisisme terhadap realitas fisik dan konsep alam yang tidak dapat rusak jelas bertabrakan dengan paham baru yang ingin ditonjolkan oleh kaum environmentalist tentang dimensi estetis dari materi dan alam yang sedang berubah. Filsafat sosial dan politispun tidak menyentuh sisi pelestarian alam ini, misalnya pandangan John Locke tentang tanah yang mencapai puncak nilai guna ketika digunakan oleh negara untuk kepentingannya.
Bagi Etika Lingkungan, tantangan tersebut tidak harus diartikan bahwa etika ini telah kehilangan nilai filosofisnya karena tidak banyak didukung oleh tradisi pemikiran sebelumnya. Justru, etika lingkungan ingin menunjukkan lubang besar dalam sejarah filsafat yang tidak pernah digali dan direfleksikan. Lubang besar itu bagi kaum environmentalis ditunjukan dalam sikap manusia yang merasa sebagai raja atas seluruh ekosistem yang secara menyedihkan telah menyebabkan ekosistem pelan-pelan kehilangan nilai estetisnya, dan melulu menjadi obyek kepentingan manusia. Di sinilah, Etika Lingkungan memberikan sumbangannya dalam seluruh pemikiran filsafat.
Pandangan Baru Terhadap Alam
Dalam kenyataannya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Walaupun sejarah manusia diturunkan ke bumi dari syurga, tetapi langit (tempat syurga itu berada) tidak berbeda dengan dunia ini. Alasannya langit dan bumi diciptakan oleh satu pencipta, tentu satu bahan dasar. Maka bila Adam diciptakan dari tanah maka tanah di surga juga sama dengan tanah di bumi. Sejak lama tindakan manusia yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu 'digiring' untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukan penghijauan di daerah kering, di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain” [6] .
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem ekomomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
Ada beberapa pemikir yang menyatakan bahwa hanya mereka yang bertindak sesuai kewajibanlah yang mempunyai hak. Meskipun demikian anak cucu keturunan manusia yang nantinya mendiami bumi ini, juga mempunyai hak atas alam ini sama dengan kita. Ketika kita mengeksploitasi habis-habisan alam atas dalih memanfaatkan hak, sebenarnya kita telah merebut hak mereka “yang belum terlahir di bumi sekarang ini”. Memang mereka belum mampu melakukan suatu kewajiban, tapi kewajiban mereka nantinya adalah sama yaitu menjaga alam bagi keturunan mereka.
Makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.
Permasalahan lingkungan sendiri tidak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia yang disebut teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari untuk tujuan tertentu dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk menemukan dan menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya. Maka teknik adalah realisasi sekaligus substitusi diri manusia. Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dibedakan dalam dua sifat : eksploitatif dan konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam. Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan memperhitungkan kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan memperbarui.
Susahnya masalah ini dipecahkan adalah karena eksploitasi ini diorganisasi dan dipakai bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk menumpuk harta demi kepentingan egoisme. Sudah sepantasnya manusia sadar kalau semua akibat eksploitasi ini akan berbalik dan merugikan diri manusia sendiri. Manusia harus berpikir secara jangka panjang dan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri. Maka perlu diperhitungkan bagaimana mengganti sumber-sumber alam yang dipakai. Bagaimana menggunakan sumber alam agar sungguh maksimal mencapai tujuan tanpa merusak keseimbangan alam. Mungkin kita harus kembali pada pemilihan prioritas mana yang penting, mana yang sekadar berguna, mana yang artifisial dan menyenangkan. Apakah perlu menebang pohon, apakah perlu mendirikan pabrik yang berlimbah beracun, dsb.
Pandangan Islam terhadap Alam
Al-qur’an diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara bertahap. Jumlah ayat kitab suci yang diturunkan kepada manusia ini (hudalinnas) ini lebih dari 6000 ayat. Ini memberi indikator bahwa persoalan kehidupan manusia itu – baik di dunia ini, di alam kubur maupun di akhirat nanti tentu jumlahnya sangat banyak dan kompleks. Ayat pertama dimulai dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa persoalan kehidupan dan lingkungan itu adalah persoalan keilmuan. Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: “Bacalah dengan nama tuhan yang Maha Menciptakan”. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga harus dengan kaca mata iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang menciptakan. Aayat itu dilanjutkan dengan: “Yang menciptakan manusia dari yang berkait/menggantung”. Ini bermakna luas. Manusia itu diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau berkait. Tentu salah satunya berarti bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah sesuatu yang berkait. Artinya manusia akan hidup dengan baik bila dia berada di lingkungan yang beranekaragam –misalnya hayati.
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna bahwa manusia selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan semua di sekitar dia selalu dalam keadaan berkait. Jadi dengan begitu akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi, berpasukan dan berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal shaleh, saling memberi nasehat – baik tentang kebenaran maupun tentang kesabaran. Dengan begitu maka manusia akan mewarisi surga firdaus – dunia yang apik, rapi dan indah serta sejahtera – untuk selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur etika dengan tuhannya, dengan lingkungannya tidak saja manusia tetapi alam secara menyeluruh. Sebagai contoh atau teladan telah secara lengkap ada pada hadis-hadis soheh misalnya Buchari dan Muslim.
Penutup
Perubahan dan perkembangan etika lingkungan, merupakan proses intelektual dan emosional. Koservasi lingkungan yang berdasar maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya, karena mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi ekonomis dari penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat sejalan dengan meluasnya penghayatan etika pribadi ke komunitas. Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga: peneguhan sosial untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-tindakan yang salah.
Strategi yang dapat digunakan melepas belenggu evolusi etika lingkungan adalah : Lupakan berpikir tentang penggunakan alam semata-mata sebagai masalah ekonomi. Uji setiap pernyataan sehubungan dengan kelayakan ekonomi dalam terminologi kebenaran etik dan estetis. Sesuatu adalah benar jika mempunyai kecenderungan mempertahankan integritas, stabilitas dan komunitas biotik. Sesuatu adalah salah jika condong ke arah sebaliknya. Kalau terpaksa harus menggunakan alam seperti sumberdaya lahan dan air, gunakanlah secara bijak. Penggunaan yang tepat ruang, dampaknya dapat dikelola dengan baik dan terpantau secara berkala. Bertambahnya jumlah dan kualitas yang mempunyai akidah yang benar dan berakhlak mulia merupakan kunci sukses terbangunnya “surga firdaus” di bumi ini. Tentu saja memerlukan kesungguhan dan kesabaran dari semua pihak yang berkeinginan untuk menjadi khalifah, abdillah dan da’i ilallah. Jumlah ketiga kelompok yang disebutkan belakangan ini semakin berkurang dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Kecuali semua mulai peduli bisa menjadi sebaliknya.
Bagikan
Lingkungan mulai mengalami kerusakan yang hebat terjadi jauh sesudah nabi Adam tidak ada lagi di permukaan bumi. Manusia yang bertambah banyak jumlah dan keahliannya menjadikan bumi ajang untuk berbuat kerusakan. Kerusakan itu tentu tidak saja di darat tetapi di laut. Tidak saja di dataran rendah, kerusakan terjadi di bukit dan gunung. Kerusakan bahkan terjadi hingga ke dasar laut. Pendek kata kerusakan terjadi di utara, selatan, timur, barat dan bahkan di kutub-kutub bumi. Kerusakan yang paling besar sebetulnya adalah akhlak atau etika manusia. Manusia mulai menyembah selain Allah. Lebih dari itu manusia menjadi rakus.
Banyak nabi dan rasul diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Tidak kurang dari 200.000 nabi dan rasul diturunkan dan diutus ke seluruh bangsa dan kaum di seluruh dunia. Banyak ajaran nabi dan rasul itu selain masalah akidah (tauhid) tetapi tidak kalah pentingnya adalah masalah akhlak/etika termasuk terhadap lingkungan. Di antara ajaran nabi Muhammad tentang etika lingkungan adalah bahwa semua makhluk hidup dan tidak hidup setiap saat tasbih kepada Allah. Jadi menganggu atau merusaknya sesungguhnya menganggu hubungan ”mereka” kepada Allah. Al-qur’an melarang keras berbuat kerusakan di bumi. Nabi melarang kencing di lubang semut dan air tergenang. Tulisan ini memaparkan serba-serbi yang berhubungan dengan etika lingkungan dan filsafat.
Apa itu Etika Lingkungan ?
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam? Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan bagaimana cara menggunakannya?
Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan. Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.
Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Etika Ekologi Dangkal
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam,
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya dinegara miskin
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
Etika Ekologi Dalam
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi. Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan. Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi kepentingan bersama.
Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme, zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua. Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan tidak bermoral.
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan penuh belas kasih.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhan organisme yang saling membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan dalam ekosistem.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.
Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Konteks Etika Lingkungan dalam Sejarah Filsafat
Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras. Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu, Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu : tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “ rational structure “ , tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.
Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak mungkin.
Tantangan Perspektif ekologis
Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu element metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.
Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertama-tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “ keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “ nomos “ tetapi pada dimensi estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi indahnya alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan pandangannya bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan. Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan. Partisipasi inilah – menurut Plato – yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi, keindahan secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.
Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
Kosep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani, karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka yaitu dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang “ kekonstanan “ alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat keadaan alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia dalam keseluruhan proses ini.
Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan pemikiran etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology, Aristoteles juga sudah memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus sungai Nil di Mesir.
Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
Tantangan Filsafat Modern
Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘ apakah alam itu ada ( metafisik ) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui alam ( epsitemologis ). Dalam hal ini, pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari saat ke saat untuk memecahkan masalah dunia.
Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena paham alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi konsepnya tentang Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia, membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu , bagi environmentalist sisi teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang menyatakan bahwa sensasi dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove, idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak besar. Pada awal modernitas, science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan prinsip-prinsip geometris dan bersifat reduksionis. [5] Hume yang membagi obyek penelitian dalam “ primary dan secondory property ” mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary dan bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan ini tampak tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di dalamnya tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
Sumbangan filsafat pada Etika Lingkungan
Kaum environmentalist mengakui bahwa bahwa filsafat sejak Yunani sampai Modern memang tidak banyak memberi dasar pada Etika Lingkungan, bahkan cenderung berseberangan dalam pandangan terhadap alam. Dari skeptisisme terhadap realitas fisik dan konsep alam yang tidak dapat rusak jelas bertabrakan dengan paham baru yang ingin ditonjolkan oleh kaum environmentalist tentang dimensi estetis dari materi dan alam yang sedang berubah. Filsafat sosial dan politispun tidak menyentuh sisi pelestarian alam ini, misalnya pandangan John Locke tentang tanah yang mencapai puncak nilai guna ketika digunakan oleh negara untuk kepentingannya.
Bagi Etika Lingkungan, tantangan tersebut tidak harus diartikan bahwa etika ini telah kehilangan nilai filosofisnya karena tidak banyak didukung oleh tradisi pemikiran sebelumnya. Justru, etika lingkungan ingin menunjukkan lubang besar dalam sejarah filsafat yang tidak pernah digali dan direfleksikan. Lubang besar itu bagi kaum environmentalis ditunjukan dalam sikap manusia yang merasa sebagai raja atas seluruh ekosistem yang secara menyedihkan telah menyebabkan ekosistem pelan-pelan kehilangan nilai estetisnya, dan melulu menjadi obyek kepentingan manusia. Di sinilah, Etika Lingkungan memberikan sumbangannya dalam seluruh pemikiran filsafat.
Pandangan Baru Terhadap Alam
Dalam kenyataannya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Walaupun sejarah manusia diturunkan ke bumi dari syurga, tetapi langit (tempat syurga itu berada) tidak berbeda dengan dunia ini. Alasannya langit dan bumi diciptakan oleh satu pencipta, tentu satu bahan dasar. Maka bila Adam diciptakan dari tanah maka tanah di surga juga sama dengan tanah di bumi. Sejak lama tindakan manusia yang sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini, seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu 'digiring' untuk menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukan penghijauan di daerah kering, di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain” [6] .
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk menemukan suatu sistem ekomomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
Ada beberapa pemikir yang menyatakan bahwa hanya mereka yang bertindak sesuai kewajibanlah yang mempunyai hak. Meskipun demikian anak cucu keturunan manusia yang nantinya mendiami bumi ini, juga mempunyai hak atas alam ini sama dengan kita. Ketika kita mengeksploitasi habis-habisan alam atas dalih memanfaatkan hak, sebenarnya kita telah merebut hak mereka “yang belum terlahir di bumi sekarang ini”. Memang mereka belum mampu melakukan suatu kewajiban, tapi kewajiban mereka nantinya adalah sama yaitu menjaga alam bagi keturunan mereka.
Makhluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.
Permasalahan lingkungan sendiri tidak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia yang disebut teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari untuk tujuan tertentu dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk menemukan dan menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya. Maka teknik adalah realisasi sekaligus substitusi diri manusia. Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia dibedakan dalam dua sifat : eksploitatif dan konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam. Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan memperhitungkan kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan memperbarui.
Susahnya masalah ini dipecahkan adalah karena eksploitasi ini diorganisasi dan dipakai bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk menumpuk harta demi kepentingan egoisme. Sudah sepantasnya manusia sadar kalau semua akibat eksploitasi ini akan berbalik dan merugikan diri manusia sendiri. Manusia harus berpikir secara jangka panjang dan bukan semata-mata untuk dirinya sendiri. Maka perlu diperhitungkan bagaimana mengganti sumber-sumber alam yang dipakai. Bagaimana menggunakan sumber alam agar sungguh maksimal mencapai tujuan tanpa merusak keseimbangan alam. Mungkin kita harus kembali pada pemilihan prioritas mana yang penting, mana yang sekadar berguna, mana yang artifisial dan menyenangkan. Apakah perlu menebang pohon, apakah perlu mendirikan pabrik yang berlimbah beracun, dsb.
Pandangan Islam terhadap Alam
Al-qur’an diturunkan oleh pencipta alam semesta dengan secara bertahap. Jumlah ayat kitab suci yang diturunkan kepada manusia ini (hudalinnas) ini lebih dari 6000 ayat. Ini memberi indikator bahwa persoalan kehidupan manusia itu – baik di dunia ini, di alam kubur maupun di akhirat nanti tentu jumlahnya sangat banyak dan kompleks. Ayat pertama dimulai dengan bacalah. Bacalah bermakna bahwa persoalan kehidupan dan lingkungan itu adalah persoalan keilmuan. Tetapi ayat itu dilanjutkan dengan: “Bacalah dengan nama tuhan yang Maha Menciptakan”. Pesan di sini adalah bahwa membaca juga harus dengan kaca mata iman. Bahwa semua di dunia ini ada yang menciptakan. Aayat itu dilanjutkan dengan: “Yang menciptakan manusia dari yang berkait/menggantung”. Ini bermakna luas. Manusia itu diciptakan dari sesuatu yang sifatnya menggantung atau berkait. Tentu salah satunya berarti bahwa manusia itu bahan dasarnya adalah sesuatu yang berkait. Artinya manusia akan hidup dengan baik bila dia berada di lingkungan yang beranekaragam –misalnya hayati.
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berkait juga bermakna bahwa manusia selama-lamanya dimaksudkan untuk menciptakan semua di sekitar dia selalu dalam keadaan berkait. Jadi dengan begitu akan ada semangat atau gerakan berkomunikasi, berpasukan dan berfikir kritis. Islam mengatur supaya manusia beriman, beramal shaleh, saling memberi nasehat – baik tentang kebenaran maupun tentang kesabaran. Dengan begitu maka manusia akan mewarisi surga firdaus – dunia yang apik, rapi dan indah serta sejahtera – untuk selanjutnya akhirat yang abadi-abadi. Semua ajaran islam mengatur etika dengan tuhannya, dengan lingkungannya tidak saja manusia tetapi alam secara menyeluruh. Sebagai contoh atau teladan telah secara lengkap ada pada hadis-hadis soheh misalnya Buchari dan Muslim.
Penutup
Perubahan dan perkembangan etika lingkungan, merupakan proses intelektual dan emosional. Koservasi lingkungan yang berdasar maksud baik saja terbukti lemah bahkan berbahaya, karena mengabaikan pemahaman kritis baik terhadap alam maupun sisi ekonomis dari penggunaan alam. Muatan intelektual akan meningkat sejalan dengan meluasnya penghayatan etika pribadi ke komunitas. Mekanisme kerjanya sama untuk etika apapun juga: peneguhan sosial untuk tindakan-tindakan yang benar dan penolakan atas tindakan-tindakan yang salah.
Strategi yang dapat digunakan melepas belenggu evolusi etika lingkungan adalah : Lupakan berpikir tentang penggunakan alam semata-mata sebagai masalah ekonomi. Uji setiap pernyataan sehubungan dengan kelayakan ekonomi dalam terminologi kebenaran etik dan estetis. Sesuatu adalah benar jika mempunyai kecenderungan mempertahankan integritas, stabilitas dan komunitas biotik. Sesuatu adalah salah jika condong ke arah sebaliknya. Kalau terpaksa harus menggunakan alam seperti sumberdaya lahan dan air, gunakanlah secara bijak. Penggunaan yang tepat ruang, dampaknya dapat dikelola dengan baik dan terpantau secara berkala. Bertambahnya jumlah dan kualitas yang mempunyai akidah yang benar dan berakhlak mulia merupakan kunci sukses terbangunnya “surga firdaus” di bumi ini. Tentu saja memerlukan kesungguhan dan kesabaran dari semua pihak yang berkeinginan untuk menjadi khalifah, abdillah dan da’i ilallah. Jumlah ketiga kelompok yang disebutkan belakangan ini semakin berkurang dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Kecuali semua mulai peduli bisa menjadi sebaliknya.